JAKARTA - Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi.Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Demikian penggalan pidato presiden ke-2 RI H.M. Soeharto yang menjadi awal berakhirnya rezim Orde Baru 23 tahun lalu. Momen itu sempat memantik harapan bagi hampir seluruh kelompok masyarakat bahwa nilai-nilai demokrasi dapat kembali tegak dalam sistem pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air.
Harapan itu setidaknya tertuang dalam Enam Agenda Reformasi, yakni: 1. Adili Soeharto dan kroni-kroninya; 2. Amendemen UUD 1945; 3. Hapuskan dwifungsi ABRI; 4. Hapuskan korupsi, kolusi, dan nepotisme; 5. Otonomi daerah seluas-luasnya; 6.Tegakkan supremasi hukum.
Dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa Orde Baru berakhir, beberapa agenda itu telah terwujud, misalnya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang jadi Tentara Nasional Indonesia) dan otonomi daerah seluas-luasnya. Namun, masih banyak tuntutan reformasi yang belum terwujud secara penuh, utamanya oleh lima presiden yang meneruskan pemerintahan pasca-Orde Baru.
Jika melihat Enam Agenda Reformasi, berbagai kelompok masyarakat sipil yang mewakili hampir seluruh rakyat Indonesia menghendaki agar pemerintah selanjutnya dapat mengembalikan muruah Pancasila yang memuat nilai-nilai demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), dan penghormatan terhadap supremasi hukum.
Demokrasi sejatinya merupakan ruh dasar negara Pancasila, sebagaimana termaktub dalam sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Jadi, kemarahan masyarakat terhadap rezim saat itu merupakan bagian dari upaya bersama mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang menjadi penopang "ruh”-nya Pancasila.
Akan tetapi, ancaman terhadap demokrasi, selama beberapa tahun terakhir, kian menguat, beberapa di antaranya ditandai oleh menjamurnya politik identitas antarkelompok masyarakat dan sikap antikritik yang ditunjukkan oleh penangkapan sejumlah peserta aksi demonstrasi sampai kalangan oposisi.
Situasi semacam itu, kemungkinan jadi penyebab turunnya indeks demokrasi Indonesia, sebagaimana dinilai oleh The Economics Intelligence Unit (EIU) yang terbit pada tahun 2020.
Dalam laporannya itu, indeks demokrasi Indonesia turun sampai skor terendah dalam 14 tahun terakhir. EIU menilai indeks demokrasi Indonesia pada skor 6.3, skor yang menjadikan Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy (cacat demokrasi).
Namun, Indonesia tidak sendiri, karena ada total 52 negara yang masuk dalam kategori cacat demokrasi, antara lain Thailand, Singapura, Guyana, Bangladesh, Ukraina, El Salvador, Moldova, Montenegro, Turki, dan Pakistan.
Menurut EIU dalam laporannya, turunnya indeks demokrasi hampir ditemukan pada sebagian besar negara Asia Tenggara dan Asia Selatan, salah satunya penyebabnya karena adanya politik identitas yang tumbuh dan menguat di tengah masyarakat.
Politik identitas
Politik identitas sederhananya adalah cara untuk menciptakan kubu-kubu di tengah masyarakat, yang dasarnya antara lain keyakinan, agama, suku, ras, atau golongan. Persamaan atas identitas itu yang kerap jadi alat politik, termasuk menjelang pemilihan umum (pemilu), atau pada berbagai kesempatan yang membutuhkan kekuatan massa.
Di Indonesia, ancaman akibat politik identitas terwujud saat dan setelah berakhirnya Pemilu 2019. Saat itu masyarakat seolah-olah terpecah jadi dua kubu “cebong" dan "kampret”. Perdebatan kedua kelompok itu tidak hanya ramai di ruang-ruang publik, tetapi juga di ruang virtual, misalnya linimasa Facebook dan Twitter.
Puncak dari perdebatan itu terjadi pada tanggal 22 Mei 2019 saat aksi unjuk rasa menolak hasil pemilihan presiden berujung rusuh. Sekelompok pengunjuk aksi melempar botol kaca, batu sampai petasan ke arah aparat. Aksi itu kemudian dibalas dengan tembakan gas air mata ke kerumunan.
Setidaknya, ratusan orang ditangkap oleh polisi akibat kerusuhan tersebut.
Dari kerusuhan itu, setidaknya ada satu pesan yang dapat jadi bahan perenungan bersama bahwa penolakan terhadap hasil pemilu yang sah merupakan indikasi pelemahan terhadap demokrasi, apalagi jika keberatan itu dimotori oleh adanya politik identitas yang memecah kesatuan bangsa.
Bahaya politik identitas itu tidak hanya terlihat saat Pemilu 2019, tetapi watak dan jejaknya juga dapat ditemukan pada kesempatan lain di luar momen pemilihan umum. Sering kali label atau stigma bahwa ada mereka yang “radikal” atau “kadal guru (kadrun)” dan “nasionalis”, atau mereka-mereka yang “kanan” dan “kiri” juga kerap digunakan oleh sekelompok pihak untuk membungkam kritik dan menutup pintu diskusi serta negosiasi, keduanya merupakan wujud dari kehidupan demokratis.
Walaupun demikian, kecenderungan menggunakan identitas untuk memecah belah bangsa bukan hanya problem yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die (2018) mengatakan bahwa Amerika Serikat, negara yang dikenal luas menjadi pendukung utama demokrasi, juga mengalami kemunduran dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi, terutama saat Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS selama 2017—2021.
Levitsky dan Ziblatt tidak segan menyebut Amerika Serikat bukan lagi model atau teladan demokrasi. “Sebuah negara yang presidennya menyerang pers, mengancam akan memenjarakan rivalnya, dan menolak hasil pemilu tidak dapat menjaga demokrasi, ” kata dua pengamat politik itu dalam bukunya.
Demokrasi, bagi keduanya, tidak hanya terwujud lewat pemilu, tetapi melalui sikap keterbukaan terhadap perbedaan, prinsip-prinsip yang mendukung kebebasan dan sikap egaliter untuk mencapai tujuan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Norma-norma semacam itu yang seharusnya jadi perhatian bersama, pemerintah, aparat, dan masyarakat. Artinya, masyarakat jangan terjebak oleh agenda-agenda oknum tertentu yang ingin memecah belah bangsa, dan pemerintah juga harus memastikan praktik dan nilai demokrasi dapat tetap tumbuh di tengah masyarakat salah satunya lewat penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia.
Terakhir, aparat juga harus memahami bahwa unjuk rasa bukan berarti anarkis atau radikal, melainkan merupakan spirit yang membuat demokrasi tetap hidup di Indonesia.(***)